Pesta rakyat akan kembali digelar tahun depan (2019) berupa pilpres maupun pileg yang akan menentukan nasib negeri ke depan. Seperti sudah menjadi kebiasaan buruk dalam setiap pemilu, para calon peserta pilpres maupun pileg mengandalkan kekuatan modal dengan cara membagi-bagikan sejumlah uang kepada timses maupun rakyat sebagai pemilih (money politic). Rakyat disuap untuk memilihnya dengan imbalan berupa uang sehingga ketika tercapai keinginannya menjadi pemimpin tak pelak lagi ia menjadi korup dan dhalim dalam setiap kebijaknnya.
Hal tersebut perlu dihindari oleh masayarakat dengan maklumat bahwa politik uang Haram hukumnya dalam islam dan calon pemimpin yang menggunakan cara-cara seperti itu tidak layak dipilih. Karena pada dasarnya, memilih seorang pemimpin itu dengan tujuan agar mengamalkan kebenaran, menegakkan batasan-batasan agama, menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bukan memilih karena diberi uang.
“Pak, ini
uang untuk bapak, uang makan dan bensin yah, nanti habis kampanye ini saat
Pemilu 9 April besok tolong coblos partai saya.
Matur nuwun
…”
Ternyata,
yang nyogok dan yang menerima sogokan kena laknat Rasul (artinya: didoakan jauh
dari rahmat Allah). Namun itulah yang nyata terjadi pada masa kampanye saat
ini.
Fenomena ini sangatlah disayangkan, karena dengan adanya hal tersebut dapat menghancurkan citra demokrasi yang katanya di anut oleh Indonesia. Bukan karena itu saja dengan adanya hal tersebut maka akan membuat hancurnya kepercayaan dan moral masyarakat. Dengan demikaian dapat kita simpulkan bahwa money politic adalah bomerang yang dapat menghancurkan sisitem pemerintahan secara perlahan dari dalam. Tanpa disadari maka akan muncul statemen yang mengatakan bahwa siapa yang memiliki uang ia akan menjadi pemimpin.
Saat musim kampanye tiba, hampir semua para caleg mendadak jadi orang yang begitu dermawan. Memberikan infak untuk pembangunan mesjid atau ikut memfasilitasi perbaikan jalan. Yang biasanya tidak pernah ikut pengajian, jadi rajin datang ke majlis ta’lim sambil membawa “hadiah”dadakan.
jual beli suara dalam pilkada lebih besar
bahaya dan mudaratnya bagi umat karena perilaku pejabat yang dipilih akan
berdampak pada kepentingan masyarakat banyak --baik yang menerima uang suap
maupun yang tidak. Beda halnya suap menyuap antara pemilik motor/mobil dan
polisi lalu lintas atau jaksa/hakim dan terdakwa yang dampaknya hanya kepada
pihak-pihak yang terlibat dengan perkara saja. Yang inipun termasuk dosa besar
dalam Islam.