BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dan
memberi akal kepadanya tidak lain adalah agar manusia berfikir terhadap
berbagai kejadian atau fenomena yang terjadi di muka bumi ini sehingga manusia
mengenal berbagai macam tanda kebesaran-Nya. Allah SWT menciptakan fitrah
yang bersih dan mulia itu lalu melengkapinya dengan bakat dan sarana pemahaman
yang baik yang memungkinkan manusia mengetahui kenyataan-kenyataan besar di
alam raya ini. Fitrah manusia mukmin mengarah ke alam raya untuk mengungkap
rahasia dan tujuan penciptaannya serta berakhir dengan memahami posisi dirinya
di alam raya ini dan menentukan bagaimana ia harus berbuat dan bersikap di
dalamnya. Ilmu yang diperoleh manusia semestinya dapat membuahkan penanaman
akidah dan pendalaman keimanan yang tulus kepada Allah.
Jika terjadi lompatan kemajuan ilmu
dan teknologi melalui penelitian terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan,
sebenarnya sangat mengherankan kalau orang-orang yang lalai itu hanya berhenti
pada batas studi yang bersifat mekanis dan tidak menyeberang untuk menemukan
rahasia-rahasia hukum Tuhan serta memahami hikmah di balik ciptaan-Nya. Orang
yang melihat langit hanya dari warna yang biru, atau bumi dari
tanahnya, ia tidak ubahnya hewan, bahkan lebih rendah dan lebih sesat.
Sebagai makhluk yang diberi akal dan
pikiran, manusia dituntut untuk berpikir serta menggali ilmu karena Islam
sendiri telah mewajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Berbicara tentang
Ilmu Pengetahuan dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa
Al-Qur’an itu adalah kitab Ilmu Pengetahuan. Sekarang ini, di saat semua
teknologi sudah canggih, dunia membuktikan dengan banyaknya temuan-temuan
terkini yang ternyata semuanya sudah terdapat dalam Al-Qur’an. Penafsiran
Al-Quran sendiri seolah tidak pernah selesai, karena setiap saat bisa muncul
sesuatu yang baru, sehingga Al-Quran terasa selalu segar karena dapat mengikuti
perkembangan zaman. Pada kesempatan ini penulis hendak sedikit mengulas tentang
ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu pengetahuan beserta tafsir dan analisisnya.
Semoga apa yang penulis tulis dalam makalah ini sedikit membantu pembaca dalam
memperoleh khazanah-khazanah keislaman yang baru.
B. Tujuan
1. Mengetahui
definisi ilmu pengetahuan dalam islam.
2. Memahami kedudukan ilmu pengetahuan
dalam islam.
3. Mengetahui dan memahami ayat-ayat tentang ilmu
pengetahuan beserta penafsirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah pengetahuan manusia
mengenai segala hal yang dapat diindera oleh potensi manusia (penglihatan,
pendengaran, perasaan dan keyakinan) melalui akal atau proses berfikir
(logika). Ini adalah konsep umum (barat) yang disebut (knowledge). Pengetahuan
yang telah dirumuskan secara sistematis merupakan formula yang disebut ilmu
pengetahuan (science). Dalam Al-Qur’an, keduanya disebut (ilmu).
Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang dimaksud ilmu itu tidak terbatas
pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (sience) saja, melainkan justru diawali
oleh ilmu Allah yang dirumuskan dalam lauhil mahfudzh yang disampaikan kepada
kita melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ilmu Allah
itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan manusia sendiri. Bila
diikuti jalan fikiran ini, maka dapatlah kita fahami bahwa Al-Qur’an merupakan
sumber pengetahuan manusia (Knowledge dan science). Dengan membaca dan memahami
Al-Qur’an, manusia pada hakekatnya akan memahami ilmu Allah, yaitu
firman-firman-Nya.
Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang ada dan apa-apa
yang terkandung dalam al-qur’an, kita dapat membulatkan pernyataan bahwa
ilmu yang dimiliki oleh manusia dan yang wajib dituntut oleh manusia,
semua berporos pada agama. Agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam
mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan
dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang
telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta. Melalui akal,
manusia dengan proses berfikir berusaha memahami berbagai realita yang hadir
dalam dirinya, sehinga manusia mampu menemukan kebenaran sesuatu, membedakan
antara haq dan bathil. Sehingga dapat dikatakan bahwaakal dan kemampuan
berpikir yang dimiliki manusia adalah fitrah manusia yang membedakannya dari
makhluk yang lain.
B. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Sebagai orang yang rendah pengetahuan keislamannya
beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah sekedar kumpulan cerita-cerita kuno yang
tidak mempunyai manfaat yang signifikan terhadap kehidupan modern, apalagi jika
dikolerasikan dengan kemajuan IPTEK saat ini. Al-Qur’an menuntut mereka
cukuplah dibaca untuk sekedar mendapatkan pahala bacaannya, tidak untuk digali
kandungan ilmu didalamnya, apalagi untuk menjawab permasalahan-permasalahan
dunia modern dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan, hal itu adalah
sesuatu yang nonsense. Anggapan-anggapan di atas merupakan indikasi bahwa orang
tersebut tidak mau berusaha untuk membuka Al-Qur’an dan menganalisis kandungan
ayat-ayatnya. Oleh karenanya maka anggapan tersebut adalah sangat keliru dan bertolak
belakang dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri. Bukti-bukti ini yang
menunjukkan sebaliknya misalnya, bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan oleh
Allah SWT kepada Nabi-Nya Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca/belajar
dan menggunakan akal, bukan perintah untuk shalat, puasa atau dzikrullah.
Demikian tinggi hikmah turunnya ayat ini, menunjukkan perhatian Islam yang
besar terhadap ilmu pengetahuan.
Sejarah
menunjukkan, bahwa pada masa kaum muslimin mempelajari dan melaksanakan
agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan pakar-pakar yang
menguasai dalam disiplin ilmunya masing-masing, sehingga Barat pun
belajar dari mereka. Baru di masa kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya
dan tergiur dengan kenikmatan duniawi dan berpaling ke barat, maka Allah SWT
merendahkan dan menghinakan mereka. Sungguh telah benar Rasulullah SAW yang
telah memperingatkan umatnya dalam hal ini. Karena kedudukan ilmu yang
sedemikian tingginya, maka islam mewajibkan umatnya untuk memperlajari ilmu.
C. Ayat-ayat tentang Ilmu Pengetahuan
1. Surat Al-Baqarah (31-32)
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ
هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا
مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ ٣٢
Artinya :
Dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar! Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"
Pada firman-Nya : “kemudian Dia
memaparkannya kepada malaikat..”, ada yang memahaminya sebagai waktu
yang relatif lama antara pengajaran Adam dan pemaran itu, dan ada juga yang
memahaminya bukan dalam arti selang waktu, tetapi sebagai isyarat tentang
kedudukan yang lebih tinggi, dalam arti pemaparan serta ketidakmampuan malaikat
dan jelasnya keistimewaan Adam as. melalui pengetahuan yang dimilikinya, serta
terbuktinya ketetapan kebijaksanaan Allah menyangkut pengangkatan Adam as.
sebagai kholifah, semua itu lebih tinggi nilainya dari pada sekedar informasi
tentang pengajaran Allah kepada Adam yang dikandung oleh penggalan ayat
sebelumnya. Firman-Nya : “innaka anta al-‘alim al-hakim /
sesungguhnya Engkau, Engkau Yang Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana”, mengandung
dua kata yang menunjukkan kepada mitra bicara yaitu huruf (ك) kaf pada kata
( إنك)
innaka dan kata (أنت) anta. Kata anta oleh banyak ulama dipahami dalam arti penguat
sekaligus untuk memberi makna pengkhususan yang tertuju kepada Allah swt. Dalam
hal ini pengetahuan dan hikmah, sehingga penggalan ayat ini menyatakan “Sesungguhnya
hanya Engkau tidak ada selain Engkau” Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kata (العليم)
al-‘alim terambil dari akar kata (علم) ‘ilm yang menurut pakar-pakar bahasa
berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Allah
swt.dinami (عالم) ‘alim atau (عليم) ‘alim karena
pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang
sekecil-kecilnya apapun. Kata (الحكيم) al-hakim dipahami oleh
sementara ulama dalam arti Yang Memiliki hikmah, sedang hikmah lain berarti
mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun
perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai (حكيم) hakim,
hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan
akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau
mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik
dari kata (حكمة) hakamah, yang berarti kendali karena kendali
menghalangi hewan atau kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan.
Analisa :
Ayat ini menjelaskan tentang
kebijaksanaan Allah dalam menetapkan Adam sebagai khalifah berkat keistimewaan
Adam a.s melalui pengetahuan yang dimilikinya serta kekeliruan
malaikat sebagaimana dipahami dari kata kemudian Allah
mepaparkan benda-benda itu kepada para malaikat lalu berfirman, “ sebutkan
kepada ku nama-nama benda itu, jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan
kamu bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah”. Sebenarnya perintah
ini bukan bertujuan menugaskan menjawab. Para malaikat yang ditanya itu secara
tulus menjawab sambil mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain
dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya engkaulah yang
maha mengetahui lagi maha bijaksana maksudnya mereka, apa yang engkau tanyakan
itu tidak pernah engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan kepada kami
bukan karna engkau tidak tau, tetapi ada hikmah dibalik itu. Demikian jawaban malaikat
yang bukan hanya mengakuti dan mengatahui jawaban pertanyaan tetapi sekaligus
mengakui kelemahan mereka dan kesucian Allah SWT. Dari segala macam kekurangan
atau ketidakadilan, sebagaimana dipahami dari penutup surat ini.
Jawaban para malaikat sesungguhnya engkau mengatahui lagi maha
bijaksana, juga mengandung makna bahwa sumber pengetahuan adalah Allah SWT.
Jadi, Allah maha mengetahui segala sesuatu, termasuk yang wajar menjadi
khalifah, dan dia maha bijaksana dalam segala tindakannya, termasuk menetapkan
mahluk yang wajar menjadi khalifah.
2. Surat Taubah (9) ayat 122
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ
طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا
رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
Artinya
:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tafsir Ayat :
Anjuran
yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad, serta
kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman
berduyun-duyun dan dengan penuh semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada
tempatnya karena ada area perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang
menyatakan bahwa ketika Rasul saw. tiba kembali di Madinah, beliau mengutus
pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Hal ini banyak
sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu sehingga jika diperturutkan,
tidak akan tinggal di Madinah bersama Rasul kecuali beberapa gelintir orang
saja. Maka dalam hal ini ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas
dengan menyatakan : Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang
selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke
medan perang sehingga tidak tersedia lagi yang
melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan
yang bersifat mobilisasi umum, maka mengapa tidak pergi dari setiap
golongan, yakni kelompok besar, di antara mereka beberapa
orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam
pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat
untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi
peringataan kepada kaum mereka yang menjadikan anggota pasukan yang
ditugaskan oleh Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya tugas, mereka, yakni
anggota pasukan itu, telah kembali kepada mereka yang
memperdalam pengetahuan itu supaya mereka yang jauh dari Rasul
saw. karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri
mereka.
Menurut al-Biqa’i sebagaimana dikutip
Quraish menyatakan bahwa kata thaaifah dapat berarti satu atau
dua orang. Sementara ulama yang lain tidak menentukan jumlah tertentu, namun
yang jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia
yang berbeda dengan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa,
masing-masing dapat dinamai dengan firqah.
Sedangkan kata liyatafaqqahuu terambil
dari kata fiqh, yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal
yang sulit dan tersembunyi. Bukan hanya sekadar pengetahuan. Penambahan
huruf taa pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan
upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam
bidangnya. Demikianlah kata-kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk
menjadi pakar-pakar pengetahuan. Sementara kata fiqh bukan
terbatas pada apa yang diistilahkan dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu
fiqh, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum agama islam yang bersifat
praktis dan yang diperoleh melalui penalaran terhadap dalil-dalil yang terperinci.
Tetapi, kata itu mencakup segala macam pengetahuan mendalam.
Analisa :
Orang-orang
yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad dan meninggalkan negeri
mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap ada yang tinggal disana dan satu
kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu yang bermanfaat. Apabila mereka kembali
ke kampung halaman, mereka wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada kaumnya
yang tidak ikut menuntut ilmu. Mereka harus memberikan pemahaman kepada kaumnya
tentang agama Allah SWT, memperingatkan mereka akan bahaya maksiat dan
melanggar perintah-Nya. Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada Tuhan mereka
dengan mengamalkan kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.
3. Az-Zumar (39) ayat 9
أَمَّنۡ
هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ
وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ
وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Artinya :
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung)
ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.
Tafsir Ayat:
Allah
berfirman : Apakah orang yang beribadah secara tekun dan tulus di
waktu-waktu malam dalam keadaan sujud akan berdiri secara mantap
demikian juga yang rukuk dan duduk atau berbaring, sedang ia terus
menerus takut siksa akhirat dan saat yang sama senantiasa mengharapkan
rahmat Tuhannya sama dengan mereka yang baru berdoa saat mendapat
musibah dan melupakan-Nya ketika memperoleh nikmat serta menjadikan bagi Allah
sekutu-sekutu? Tentu saja tidak sama! Katakanlah : “Adakah sama
orang-orang yang mengetahui hak-hak Allah dan mengesakan-Nya dengan
orang yang tidak mengetahui hak Allah dan mengkufuri-Nya? Sesungguhnya
orang yang dapat menarik banyak pelajaran adalah Ulul Albab,
yakni orang-orang yang cerah pikirannya.
Awal ayat di atas ada yang
membacanya aman dalam bentuk pertanyaan dan ada juga yang
membacanya amman. Yang pertama merupakan bacaan Naafi,
ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, dan Hamzah. Ia terdiri dari huruf alif dan man yang
berarti siapa. Kata man berfungsi sebagai subjek (mubtada),
sedang predikat (khabar)-nya tidak tercantum karena telah diisyaratkan
oleh kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang kafir mengada-adakan
bagi Allah sekutu-sekutu dan seterusnya. Menurut Quraish
bahwa bacaan kedua amman adalah bacaan mayoritas ulama. Ini
pada mulanya terdiri dari dua kata yaitu am dan man,
lalu digabung dalam bacaan dan tulisannya. Ia mengandung dua kemungkinan makna.
Yang pertama kata am yang berfungsi sebagai
kata yang digunakan bertanya. Maka dengan demikian ayat ini bagaikan menyatakan
“Apakah si kafir yang mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sama dengan yang
percaya dan tekun beribadah? Yang kedua, kata am berfungsi
memindahkan uraian ke uraian yang lain, serupa dengan kata bahkan. Makna ini
menjadikan ayat di atas bagaikan menyatakan. “ Tidak usah mengancam mereka,
tapi tanyakanlah apakah sama yang mengada-adakan sekutu bagi Allah dengan yang
tekun beribadah? Sedangkan kata qaanit terambil dari
kata qanuut, yaitu ketekunan dalam ketaatan disertai dengan
ketundukan hati dan ketulusannya. Sementara itu, ulama menyebut juga nama-nama
tertentu bagi tokoh yang dinamai qaanit oleh ayat di atas,
seperti Sayyidina Abu Bakar, atau ‘Ammar Ibnu Yasir ra. dan lain-lain. Ini
merupakan contoh dari sekian tokoh yang dapat menyandang sifat tersebut. Dengan
kata lain ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan batin siapa yang tekun
itu. Sikap lahirnya digambarkan oleh kata-kata saajidan/ sujud dan qaaiman/
berdiri sedangkan sikap batinnya dilukiskan oleh kalimat yahdzaru
al-akhirata wa yarjuu ar-rahmah/ takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhanya.
Analisa :
Pada ayat tersebut terlihat adanya
hubungan orang yang mengetahui (berilmu) dengan melakukan ibadah di waktu
malam, takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengaharapkan ridha dari
Allah; dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah satu
ciri dari ulul al-bab, yaitu orang yang menggunakan hati untuk
menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan
akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang mulia.
Sehubungan dengan ayat هل يستوى الّذين يعلمون والّذين لا يعلمون, al-Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai rasul kepada kaummu,
adakah sama, orang-orang yang menengetahui bahwa ia akan mendapatkan pahala
karena ketaatan kepada tuhannya dan akan mendapatkan siksaan disebabkan karena
kedurhakaannya dengan orang yang mengetahui al-hal yang demikian itu?” Ungkapan
pertanyaan dalam ayat ini menunjukan bahwa yang pertama (orang-orang yang
mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan yang kedua
(-orang-orang yang tidak mengetahui) akan mendapatkan kehinaan dan keburukan.
Imam Al Qurtubi berkata:
"Menurut Az-Zujaj Radhiyallahuanhu, maksud ayat tersebut yaitu orang yang
tahu berbeda dengan orang yang tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah
sama dengan orang bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat
mengambil manfaat dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak
mengambil manfaat dari ilmu serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam
barisan orang yang tidak mengetahui".
4. Mujaadalah (58) ayat 11
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ
يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
Artinya :
Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Tafsir Ayat :
Allah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kamu, oleh siapapun: “Berlapang-lapanglah, yakni
berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk
memberikan tempat pada orang lain, dalam majelis-majelis, yakni
satu tempat, baik itu tempat duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta
kepada kamu untuk melakukan itu maka lapangkanlah tempat itu
untuk orang lain itu dengan sukarela. Maka jika kamu melakukan hal tersebut,
niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan
apabila dikatakan : Berdirilah kamu ke tempat yang lain, atau duduk
diduduki tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan
sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkitlah, Allah
akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu, wahai yang memperkenankan
tuntunan ini, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat
kemuliaan di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan
sekarang dan masa datang Maha mengetahui.
Kata tafassahuu dan ifsahuu pada
ayat tersebut, terambil dari kata fasaha, yakni lapang.
Sedangkan kata unsyuzuu terambil dari kata nuzuz,
yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya
berarti beralih ke tempat yang lebih tinggi. Yang dimaksudkan
adalah pindah ke tempat lain untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih
wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan
suau aktifitas yang positif. Sementara itu, ada juga yang memahaminya dengan
berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada
kepentingan nabi saw yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi. Sedangkan
kata majaalis adalah bentuk jamak dari majelis.
Pada umumnya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi
saw memberikan tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini
adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik itu tempat duduk,
tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau
tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar secara mengalah kepada
orang-orang yang dihormati atau pun orang-orang yang lemah. Seorang tua
non-muslim sekalipun.
Analisa :
Dari ayat tersebut dapat kita
ketahui bahwa para sahabat berlomba-lomba untuk berdekatan dengan tempat duduk
Rasulallah SAW untuk mendengarkan pembicaraan beliau yang mengandung banyak
kebaikan dan keutamaan yang besar. Diperintahkan pula untuk memberi kelonggaran
dalam majlis dan tidak merapatkannya, dan apabila yang demikian ini menimbulkan
rasa cinta didalam hati dan kebersamaan dalam mendengarkan hukum-hukum agama,
maka akan dilapangkan baginya kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat.
Isi kandungan pada ayat diatas
berbicara tentang etika atau akhlak ketika berada dalam majelis ilmu. Etika dan
akhlak tersebut antara lain ditunjukan untuk mendukung terciptanya ketertiban,
kenyamanan dan ketenangan suasana dalam majelis, sehingga dapat mendukung
kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Ayat diatas juga sering digunakan para
ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, dengan
cara mengunjungi atau mengadakan dan menghadiri majeis ilmu. Dan orang yang
mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai derajat yang tinggi dari Allah.
Menurut Imam Al Qurthubi
"Maksud ayat di atas yaitu, dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di
dunia, Allah Subhanahu wa Taala akan meninggikan orang beriman dan berilmu di
atas orang yang tidak berilmu. Kata Ibnu Mas`ud, dalam ayat ini Allah Subhanahu
wa Taala memuji para ulama. Dan makna bahwa Allah Subhanahu wa Ta ala akan
meninggikan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat, adalah derajat dalam
hal agama, apabila mereka melakukan perintah- perintah Allah".
5. Surat Al-Alaq (96) ayat 1-5
ٱقۡرَأۡ
بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢
ٱقۡرَأۡوَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ
٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ
يَعۡلَمۡ ٥
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (5).
Tafsir Ayat :
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (ayat 1). Dari suku kata pertama saja yaitu “bacalah”, telah terbuka
kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi Muhammad
disuruh untuk membaca wahyu yang akan diturunkan kepada beliau atas nama Allah,
tuhan yang telah menciptakan. Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah.
Yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si
perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu akan menjelma menjadi segumpal
darah dan dari segumpal darah itu kelak setelah 40 hari akan menjadi segumpal
daging. “Bacalah, dan tuhanmu itu
adalah maha mulia”(ayat 3).
Setelah pada ayat pertama beliau menyuruh membaca dengan nama allah yang
menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruh membaca
diatas nama tuhan. Sedang nama tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran
hidup itu ialah Allah yang maha mulia, maha dermawan, maha kasih dan saying
kepada mahluknya. “Dia yang
mengajarkan dengan kalam”(ayat 4).
Itulah istimewanya tuhan itu lagi. Itulah kemulianya yang tertinggi. Yaitu
diajarkanya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia,
diserahkanya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah yaitu dengan
qalam. Dengan pena disamping lidah untuk membaca, tuhanpun mentaksirkan pula
bahwa dengan pena ilmu dapat dicatat. Pena itu kaku dan beku serta tidak
hidup namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat
difahami oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”
(Ayat 5). Terlebih dahulu Allah ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam.
Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan
oleh allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatat ilmu yang baru didapatnya itu
dengan qalam yang sudah ada dalam tanganya.
Analisa :
Berdasarkan
ayat tersebut Rasululallah disuruh untuk membaca agar menjadi orang
yang bisa membaca sebelum tadinya tidak. Betapa pentingnya membaca itu, bahkan sesungguhnya
setiap detik hidup ini adalah membaca. Tanpa membaca, orang
akan kesulitan untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Setiap orang bisa saja
membaca objek yang sama. Namun yang membedakan adalah kualitas pembacaannya.
Pada masa jahiliyyah dahulu, kondisi kehidupan masyarakat didominasi oleh
pembacaan yang salah. Membaca yang benar dalam arti menyeluruh harus menjadi
bagian dari hidup seorang muslim. Manusia dapat baru dapat dimintai
pertanggungjawaban setelah mampu membaca dalam arti luas. Sebab kemampuan
membaca adalah tanda berfungsinya akal seseorang. Dikutip dari sebuah hadits, “Tidak
ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Kualitas pembacaan juga
ditandai dengan kedalaman atau kejauhan pandangan. Dengan hanya sedikit
indikator atau tanda, seharusnya setiap Muslim mampu membaca jauh melebihi apa
yang dilihatnya.
Dalam
ayat tersebut dapat diketahui perintah Allah SWT kepada manusia untuk menuntut
ilmu, dan dijelaskan pula sarana yang digunakan untuk menuntut ilmu yaitu
kalam. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan
mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai,
semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan
diri kepada-Nya. Adapun dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan apa yang aku bawa
dari petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang banyak yang menyirami
bumi, maka di antara bumi tersebut terdapat tanah yang subur, menyerap air lalu
menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya terdapat tanah
yang kering yang dapat menahan air maka Allah memberikan manfaat kepada manusia
dengannya sehingga mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman dengannya dan
bercocok tanam dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang turun kepada
tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan
rumput-rumputan. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan orang
yang mengambil manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui dan
mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak
perhatian sama sekali dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah
yang aku diutus dengannya." (HR. Al-Bukhariy)
Di
dalam hadits ini terdapat pengarahan dari Nabi SAW agar bersemangat
untuk mencari ilmu, yaitu beliau SAW memberikan perumpamaan terhadap
apa yang beliau bawa, yaitu hujan yang menyeluruh di mana manusia mengambil dan
memanfaatkan air hujan tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian
beliau SAWmenyerupakan orang yang mendengar ilmu dengan bumi/tanah yang
bermacam-macam dimana air hujan (ilmu) turun padanya:
1. Diantara
mereka ada orang yang berilmu, beramal dan mengajarkan ilmunya kepada yang
lainnya, maka orang ini seperti tanah yang baik, yang menyerap air lalu
memberikan manfaat pada dirinya dan menumbuhkan tanaman dan rumput-rumputan
sehingga memberikan manfaat bagi yang lainnya.
2. Diantara
mereka ada yang mengumpulkan ilmu yang dia sibuk dengannya, di mana ilmu
tersebut dimanfaatkan pada masanya dan masa setelahnya dalam keadaan dia belum
bisa mengamalkan sebagian darinya atau belum bisa memahami apa yang dia
kumpulkan, akan tetapi dia sampaikan kepada yang lainnya, maka orang ini
seperti tanah yang menahan air sehingga manusia dapat mengambil manfaat
darinya.
3. Dan di
antara mereka ada orang yang mendengar ilmu tetapi tidak menghafalnya, tidak
beramal dengannya dan tidak pula menyampaikannya kepada yang lainnya, maka
orang ini seperti tanah lumpur atau tanah tandus yang tidak dapat
menerima/menampung air.
Kelompok
pertama dan kedua dalam perumpamaan tersebut kelak akan dikumpulkan menjadi
satu karena kebersamaan mereka dalam memanfaatkan ilmu yang mereka miliki
walaupun derajat kemanfaatannya bertingkat-tingkat. Dan kelompok ketiga yang
tercela akan dipisahkan dari kelompok satu dan dua karena tidak adanya
kemanfaatan darinya. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya terdapat perbedaan
yang besar antara orang yang mencari ilmu lalu memberikan manfaat pada dirinya
dan orang lain dengan orang yang rela dengan kebodohan dan hidup dalam
kegelapannya sehingga dia tidak mendapat bagian sedikit pun dari warisannya
para Nabi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang menjunjung
tinggi peran akal dalam mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya
peran akal, sehingga bahkan dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak
berakal, dengan akal yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam
semesta.
Allah akan meninggikan tempat
bagiorang-orang yang berilmu disurganya dan menjadikan mereka di dalam surga
termasuk orang-orang yang berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan. Mencari
ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga
merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada
Allah SWT sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya.
B. Saran
Demikian makalah ini penyusun buat,
penyusun mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan.
Penyusun meminta kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar